Masih teringat jelas
berat suara nafasmu
perlahan,
tertahan,
beradu dengan langkah sayupmu
kala kau pulang pukul 03.47
kemudian disusul dengan suara asing dari channel TV kesukaanmu
atau suara bisikan bibirmu mengucap, kala kau membaca buku
atau tawa lepasmu yang menyusul tepat beberapa menit, setelah suara telfonmu mendayu…
Masih teringat jelas, Ayah…
kelembutan sekaligus lelah yang tertahan dan terpaksa terpancar disorot matamu
kala kami pagi hendak berangkat sekolah,
pelukan hangatmu yang seolah tidak risih akan gerak – gerik kami yang membangunkanmu dari lelapmu yang baru…
serta kecupan manismu dikening kami yang seolah membayar segala rindu yang memang telah tertahan, sejak kemarin – kemarin…
Segalanya masih teringat jelas, Ayah
jelas betul dalam ingatan kami..
tak peduli, bahwa segalanya kini diperantarai oleh selembar dua lembar kertas surat…
dan terkadang, tanpa tersentuh indra kehangatanmu sama sekali..
segalanya, masih teringat jelas…
Kemudian malam itu,
ketika tangan – tangan asing wartawan;
menarik,
mendorong,
memperlakukanmu seolah akan melumat habis dirimu
panas hati kami!
panas jiwa – jiwa kami, Ayah…
Nafas kami tercekat seakan terhenti sejenak
mata kami terbelalak, namun tetap airmata kami tahan
sengaja tak kami biarkan ia jatuh
tubuh kamu terkaku, namun tetap memaksa telinga kami mendengar jernih apa yang mereka tuduhkan kepadamu
Kasus suap…???
itukah yang mereka tuduhkan….?
habiskah akal mereka menuduhkan itu, kepadamu..??
Tidakkah mereka tahu,
detik mereka tidur terlelap menikmati waktu istirahatnya
kau justru baru memulai rapat kesekianmu untuk membersihkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang mereka bilang, mereka benci?
Tidakkah mereka tahu,
ketika mereka asik bermimpi,
terlelap dalam mimpi indahnya;
mimpi tentang Negara Republik Indonesia yang bersih, jauh dari kenistaan dan kemarukan petinggi – petingginya,
kala itu kau bekerja keras, untuk membuat semua itu terjadi
menjadikan itu tidak hanya sebatas mimpi,
menjadikan mimpi menjadi realiti,
kenyataan.
Tidakkah mereka tahu,
ketika kata jihad masih sebuah teori bagi mereka,
hanya sebatas angan semata
kau sudah jauh habiskan waktumu,
jiwamu,
fikiranmu,
hartamu, untuk itu.
Ketika jihad masih menjadi cita – cita bagi kami,
kau seakan jauh,
jauuuuuuuuh telah meninggalkan kami.
Tidakkah mereka tahu,
ketika mereka menggerutu atas kelelahan mereka
mengeluh atas kesibukan dunia mereka
engkau, Ayah
ayah kami ini
dengan senyuman hangat dan setengah mata menahan lelahnya
membukakan pintu rumahnya,
menerima setiap gerutu tamunya,
kekhawatiran tamunya,
keluh kesahnya,
kebutuhannya,
kemudian memberikan solusi
tanpa sedikitpun,
tanpa sejenak saja ia menoleh kepada istirahatnya,
kepada hak tubuhnya.
Sekarang mereka tuduhkan itu (semua) kepadamu, Ayah?
tidakkah telinga kami salah mendengar?
Jangan, Ayah..
jangan ragu memanggil kami, Ayah…
bawa jiwa raga kami bersaksi atas jihadmu yang nyata
karena tak secuilpun hati kami percaya kepada mereka,
apa tuduhan mereka,
apa fitnah mereka, Ayah..
takkan pernah kami percaya!
takkan pernah!
Kami tidak akan diam menangisimu, Ayah
kami akan tetap melangkah,
melanjutkan langkah jihadmu,
tak peduli sekerdil apapun kami.
kami tidak akan malu dan menundukkan kepala kami, Ayah
kami akan buktikan, bahwa semangat kami tak kalah dari semangatmu.
akan kami tunjukkan,
akan kami renggut kembali engkau, kembali ke langkah jihadmu, Ayah.
Jangan engkau khawatirkan kami, Ayah
karena sebagaimana Allah bersamamu,
Ia juga bersama langkah – langkah kami.
Do’a kami selalu untukmu, Ayah
tetaplah tenang dan tersenyum di sana
tetaplah pancarkan tatapan penuh semangatmu,
penghidup semangat tinggi kami.
Tetaplah tersenyum, Ayah
hingga kau kembali, ke dekapan kami…
* Karya: Putra-Putri Luthfi Hasan Ishaaq di Semarang dalam Milad PKS April 2013
Reblogged this on Sekotak Kecil Kedamaian Di Hatimu.
Ikut bersimpati…
ane pake IM3 sama # sih.. (^.^)>